Kamis, 25 April 2013

PLATO dan Sejarah Pemikirannya




Add caption
Plato (lahir sekitar 427 SM - meninggal sekitar 347 SM) adalah seorang filsuf dan matematikawanYunani, penulis philosophical dialogues dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, sekolah tingkat tinggi pertama di dunia barat. Ia adalah murid Socrates. Pemikiran Plato pun banyak dipengaruhi oleh Socrates. Plato adalah guru dari Aristoteles. Karyanya yang paling terkenal ialah Republik yang di dalamnya berisi uraian garis besar pandangannya pada keadaan "ideal". Dia juga menulis 'Hukum' dan banyak dialog di mana Socrates adalah peserta utama. Salah satu perumpamaan Plato yang termasyhur adalah perumpaan tentang orang di gua. Cicero mengatakan Plato scribend est mortuus (Plato meninggal ketika sedang menulis)
Sumbangsih Plato yang terpenting adalah pandangannya mengenai idea. Pandangan Plato terhadap idea-idea dipengaruhi oleh pandangan Sokrates tentang definisi. Idea yang dimaksud oleh Plato bukanlah ide yang dimaksud oleh orang modern. Orang-orang modern berpendapat ide adalah gagasan atau tanggapan yang ada di dalam pemikiran saja. Menurut Plato idea tidak diciptakan oleh pemikiran manusia. Idea tidak tergantung pada pemikiran manusia, melainkan pikiran manusia yang tergantung pada idea. Idea adalah citra pokok dan perdana dari realitas, nonmaterial, abadi, dan tidak berubah. Idea sudah ada dan berdiri sendiri di luar pemikiran kita. Idea-idea ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Misalnya, idea tentang dua buah lukisan tidak dapat terlepas dari idea dua, idea dua itu sendiri tidak dapat terpisah dengan idea genap. Namun, pada akhirnya terdapat puncak yang paling tinggi di antara hubungan idea-idea tersebut. Puncak inilah yang disebut idea yang “indah”. Idea ini melampaui segala idea yang ada.
Plato lahir dari keluarga aristokrat kira-kira pada tahun 429 SM. Ia berniat untuk memasuki bidang politik sebagai karier hidupnya. Namun kematian Socrates membuat ia tidak melanjutkan niatnya tersebut kecuali sebagai filosof. Ia tidak setuju dengan cara-cara pemerintahan demokrasi pada masa itu yang menurutnya mengakibatkan gurunya meninggal.
Pada masa muda Plato, ia menyaksikan perebutan kepemimpinan antara Athena dengan Sparta yang menghangat pada peperangan Pelopnnesos (431-404) dan dimenangkan oleh Sparta. Kekalahan tersebut membuat hati Plato hambar. Oleh karena itulah ia berusaha mengarahkan pemikirannya untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia secara konkret. Ia melakukan pengembaraan ke daerah Sisilia dan Italia bahkan ke daerah Afrika yang memberikan pengalaman berharga guna pemikirannya lebih lanjut. Setelah pengembaraannya, ia mendirikan sebuah sekolah yang ia beri nama Akademi. Sekolah ini diharapkannya dapat mejadi pabrik pembentuk dan penempa orang-orang yang dapat membawa perubahan bagi Yunani. Pengetahuan yang diajarkan di Akedemi adalah mengenai segala aspek manusia dan masyarakat dalam arti keseluruhan.
Dengan didirikannya Akademi Plato menghasilkan karyanya Politeia atau Republik. Kitabnya ini digunakan sebagai pegangan dalam sekolahnya. Tema pokok kitab ini adalah keadilan. Keadilan yang dimaksud di sini berbeda dengan pengertian keadilan saat ini. Keadilan Plato lebih dekat pada kata kejujuran, moral, sifat-sifat baik seseorang. Keadilan ini berhubungan dengan kejujuran seseorang mengenai kesanggupan dan bakatnya. Menurut Plato keadilan itu adalah seseorang membatasi dirinya pada kerja dan tempat dalam hidup yang sesuai dengan panggilan kecakapan dan kesanggupannya. Dalam kehidupan bernegara, keadilan menurut Plato terletak pada kesesuaian dan keselarasan antara fungsi di satu pihak dan kecakapan serta kesanggupan di pihak lain.
Kitab Republik ini membicarakan empat masalah besar, pertama, mengenai masalah metafisika yaitu yang mencari dan membicarakan apa yang sebenarnya hakikat segala yang ada. Kedua, etika yaitu mengenai sikap yang benar dan baik serta sebaliknya. Ketiga, mengenai pendidikan yang harus dijalani seseorang dalam hidup. Keempat, mengenai pemerintahan yang seharusnya atau yang ideal. Keempat masalah ini merupakan suatu kebulatan. Suatu kebulatan maksudnya di sini adalah tidak adanya perbedaan antara negara dengan masyarakat atau warga negaranya. Karena keempat masalah ini dipandang sebagai kebulatan maka Plato memunculkan pertanyaan, misalnya apakah negara yang baik itu, bagaimana mengusahakannya dan membuatnya. Apakah pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang manusia agar ia menjadi seorang yang baik? Apakah cara-cara yang harus dijalankan oleh negara yang baik dalam memimpin rakyat atau warganya mendapatkan pengetahuan yang menjadi syarat adanya kebajikan  itu? Pengetahuan di sini, menurut Socrates adalah pengetahuan yang artinya sama dengan kebajikan. Plato menyatakan kebajikan tersebut diperoleh dengan pengetahuan. Pengetahuan tentang kebaikan tersebut harus merupakan kodrat dan tidak berasal dari adat dan kebiasaan. Artinya kebaikan itu bukan merupakan kehendak orang-orang, tapi kebaikan tersebut adalah kenyataan dari kehidupan. Kebajikan atau pengetahuan itu diperoleh dengan adanya pendidikan.
Demokrasi-kuno yang menempatkan seseorang pada jabatan-jabatan tanpa mempunyai syarat-syarat yang diperlukan menurut Plato adalah awal kemunduran Athena. Kepentingan diri sendiri yang berpangkal pada sifat individualime yang tidak terkendalikan yang diutarakan Plato menurut pendapat penulis juga mempengaruhi kemunduran Athena. Memang Plato tidak menafikan harus adanya keselarasan kepentingan antara orang-orang dengan negara atau masyarakat. Namun, keselarasan tersebut menurut pendapatnya bukanlah dengan menyamakan kepentingan negara dengan kepentingan seseorang melainkan kepentingan seseorang harus disesuaikan dengan kepentingan masyarakat. Oleh karena itulah Plato cenderung menciptakan adanya rasa kolektivisme daripada penonjolan pribadi.
Plato menyatakan keserasian antara masyarakat dengan negara itu memiliki tujuan, yaitu tujuan Nan Ada adalah Nan Baik. Nan Ada ini adalah suatu organisme. Organisme adalah suatu kesatuan yang bulat di mana tiap anggota atau bagiannya merupakan alat yang tidak dapat dipisahkan dari rangka keseluruhan itu. Tiap anggota atau bagian itu, sebagai organisme mempunyai fungsi yang akan memberi pengaruh pada anggota yang lainnya bahkan berpengaruh pada organisme yang lebih besar. Oleh karena itulah Plato menyatakan, apabila anggota atau bagian itu tidak menjalankan fungsinya atau “sakit” maka organisme, dalam hal ini negara, akan merasa sakit. Sehingga menurut Plato apabila setiap anggota atau bagian mengerjakan apa yang menjadi fungsinya keadilan akan tercapai. Bila meminjam pernyataan Sabine misalnya keadilan adalah ikatan yang mempersatukan suatu masyarakat, suatu persatuan yang harmonis dari individu-individu, di mana masing-masing melaksanakan tugas hidupnya sesuai dengan bakat dan pendidikannya. Keadilan merupakan kebajikan umum dan perseorangan. Singkatnya setiap anggota atau bagian melakukan apa yang menjadi hak dan kewajibannya.
Fungsi-fungsi yang dijalankan tiap anggota atau bagian ini dapat dilihat dengan penganalogian Plato antara jiwa dengan negara. Apa hakikat jiwa, itu pulalah hakikat negara. Ada tiga unsur jiwa yang menjadi jenis kelas, membentuk susunan negara. Yaitu kelas penguasa—mengetahui segala sesuatu, kelas pejuang atan pembantu penguasa—yang penuh semangat, dan kelas pekerja—lebih mengutamakan keinginan dan nafsu.  Kelas penguasa dapat memberikan bimbingan kepada yang lain dalam masyarakat atau negara. Kelas pejuang diperlukan ketika kekacauan peperangan, diperlukan semangat yang membantu akal apabila ada pertentangan antara keinginan dan akal. Kelas pekerja dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan jasmani, seperti makan-minum. Dengan demikian, ketiga kelas atau fungsi ini saling membutuhkan dan masing-masing mengerjakan fungsinya untuk mencapai tujuan Nan Baik itu.
Rasa kolektivisme yang ditawarkan Plato seperti di sebutkan di atas adalah semacam komunisme di dalam cara kehidupan sosial, oleh karena itulah ia melarang adanya hak milik dan famili. Adanya milik akan mengurai dedikasi seseorang pada kewajibannya sebagai anggota masyarakat. Kesempatan bermilik akan menggoda seseorang untuk memperhatikan kepentingan diri sendiri lebih dahulu. Tidak adanyan family menurutnya lagi ditujukan utuk menghindarkan kemungkinan bercampurnya kepentingan negara dengan kepentingan sendiri. Adanya larangan hak milik dan family ini disebut juga ‘nihilisme sosial’ oleh Robert Nisbet, yang tujuannya sebenarnya menghindarkan negara dari pengaruh erosif dan destruktif yang pada akhirnya akan menciptakan disentegrasi negara kota.
Larangan hak milik dan family atau komunisme ini hanya terbatas pada kelas-kelas penguasa dan pembantu, sementara kelas pekerja tidak dilarang. Pandangan Plato mengenai anak dan wanita yang dianggap sebagai milik bersama bukanlah dimaksud untuk merendahkan wanita. Plato mengakui hak yang sama antara wanita dan laki-laki yang dapat dilihat dengan pengakuannya bahwa kelas penguasa dan pembantu penguasa dapat dipegang oleh wanita. Merujuk pada tulisan Sabine kembali, bahwa kesamaan derajat ini dapat juga dilihat dari tanpa pengecualian dalam pendidikan. Adanya pengakuan atau kesamaan derajat antara laki-laki dengan wanita ini adalah sebagai perbandingan yang dilakukannya antra Athena dengan Sparta. Wanita dalam negara kota Sparta juga ikut sebagai tentara atau kelas pembantu penguasa. Larangan atas hak milik dan family ini maksud Plato bukanlah untuk melarang kedua kelas tersebut mendapat kebahagiaan, tapi kebahagiaan menurut Plato di sini terletak pada kewajiban atau fungsi masing-masing.

2 komentar:

  1. referensinya mana???? segera perbaiki,dan di upload kembali,,selanjutnya jangan lupa referensi.

    BalasHapus
  2. okeehh ibu, nanti saya segera perbaiki. . .

    BalasHapus