Biografi Tokoh
Pembaharuan Islam di Timur
Tengah mengalami perkembangan pesat ketika berada di tangan Muhammad Abduh
Wahhab. Ia dilahirkan di sebuah desa di Mesir Hilir pada
tahun 1849. Bapaknya bernama Abduh Hasan
Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya berasal
dari Bangsa Arab, yang silsilahnya dapat diurut sampai ke suku bangsa Umar Ibn
Khattab.
Dia adalah seorang pemikir, teolog, dan pembaharu dalam Islam di
Mesir yang hidup pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ia lahir pada masa
pemerintahan Muhammad Ali Pasya, tepatnya di Mahallat Nasr pada tahun 1265 H /
1849 M dan wafat di Kairo pada tahun 1323 H / 1905 M
Muhammad Abduh dikenal
sebagai murid yang cerdas,ia mampu menghafal Al-Qur’an dalam waktu dua tahun.
Orang yang paling berarti dalam kehidupan Muhammad Abduh yang mampu merubah
hidupnya menjadi seorang yang mencintai ilmu pengetahuan adalah Syekh Darwisy
Khadr.
Abduh kemudian melanjutkan ke Universitas al-Azhar di
mana ia mendapat alamiya nya (mirip dengan gelar BA) di 1.877. Sementara di al
-Azhar, subjek favoritnya adalah mistisisme, minatnya dalam subjek menuntunnya
untuk hidup sebagai pertapa untuk sementara waktu.
Pada tahun 1872, saat masih di Al Azhar,
Abduh bertemu Jamal al-Din al-Afghani, pendiri pan-Islam Movement. Setuju
dengan tujuan gerakan menyatukan seluruh umat Islam, Abduh keluar dari gaya
hidup seorang pertapa dan mulai mengajar dan menjadi aktivis untuk pembebasan
dari kolonialisme British. Setelahmenjadi mahasiswa dan lulus dari universitas akhirnya
ia mulai mengajar dan menjadi
guru. Kemudian ia menjadi profesor,
Abduh mengajarkan murid-muridnya filsafat modern. Dia merujuk filsuf Eropa, seperti
Montesquieu, dalam lecturesnya. Dia
juga mengajar sekolah sekuler, Dar al-'Ulum. Setelah Afghani diasingkan, Abduh
terpaksa meninggalkan pekerjaan mengajar dan kembali ke desanya oleh Khedive
Tawfiq (mirip dengan bahasa Inggris viceroy), ia dipandang sebagai tokoh gerakan
anti-pemerintah. Namun pada tahun 1880, ia kembali ke Kairo di mana ia diberi
pekerjaan sebagai pemimpin redaksi sebuah lembaran negara Mesir. Abduh
berterima kasih pada Afghani
untuk ini. Afghani berhasil membawanya ke tulisan pers, terutama yang
menyerukan reformasi. Lembaran, "al-Waqa'le al-Masriyya", menjadi
pemain besar dalam intelektual, sosial, dan sastra adegan berkat Abduh.
Pada tahun 1879, ketegangan mulai
meningkat antara Inggris dan Mesir, sampai pemberontakan pecah, yang dikenal
sebagai Revolusi Urabi. Abduh dikirim ke penjara di tahun 1881 untuk suaranya
dalam pemberontakan melawan Inggris, menempatkan dia dalam sel selama tiga
bulan, Ia kemudian diasingkan dari Mesir selama tiga tahun, selama waktu itu
dia pergi ke Beirut, dan kemudian ke Paris, di mana ia bertemu dengan Afghani
sekali lagi.
Sementara di Perancis, al-Afghani dan
Abduh memulai sebuah masyarakat rahasia pada tahun 1884 yang memiliki cabang
membentang ke Timur Tengah. Mereka juga menerbitkan surat kabar, "al-Urwah
al-Wuthqa". Makalah ini memperkenalkan ide-ide Eropa ke Timur Tengah dan
menjelajahi kelemahan dalam dunia Muslim dan bagaimana hal itu bisa diperbaiki.
Pada tahun 1888, Abduh kembali ke Mesir.
Setelah kembali di negara asalnya, ia ingin mulai mengajar lagi, tapi tidak
diizinkan oleh khedive, karena takut
Abduh akan mempengaruhi pemikiran generasi muda
. Tapi sekali lagi itu tidak
berhenti Abduh kembali diasingkan.
Dia diangkat sebagai hakim
di Pengadilan Eyptian Tingkat Pertama dari Pengadilan asli dan pada tahun 1890,
menjadi anggota Pengadilan Appeal. Dan pada tahun 1899 Abduh dipromosikan
menjadi mufti Mesir. Hal ini memungkinkan dia untuk memiliki kontrol atas
sistem hukum agama. Dia juga ditunjuk menjadi
anggota Dewan Legislatif, yang diciptakan pada tahun 1883 untuk menyarankan
pemerintah. Dengan hatinya yang masih
ingin mengajar, ia membantu
menemukan Kebajikan Masyarakat dengan membantu
dalam pembentukan sekolah.
Abduh tinggal di kontak dengan Eropa.
Dia punya beberapa hubungan dengan filsuf Eropa. Dia bahkan menulis surat
kepada Tolstoy. Setiap kali dia bisa, Abduh akan menuju ke Barat untuk
"memperbaharui dirinya sendiri", ini memberinya harapan bahwa suatu
hari, dunia Muslim akan menarik melalui dari keadaan sekarang dari discontent.
Pada July tahun 1905, Abduh meninggal pada usia lima puluh enam.
Pemikiran
Muhammad Abduh
Pada masa-masa itu, boleh dikatakan merupakan kemunduran
dunia Islam. Kemunduran yang sebenarnya sudah dimulai sekitar enam abad
sebelumnya, yaitu sejak jatuhnya pemerintahan Islam di Andalusia di Baghdad
oleh tentara Mongol. Selama itu pula pemikiran Islam mengalami kemandegan. Baru
pada abad ke-19, kondisi itu mencair dengan munculnya para pemikir dan tokoh
Islam yang coba mengkolaborasi kembali pemahaman keagamaan yang disesuaikan
dengan perkembangan mesyarakat. Nama-nama seperti Jamaluddin Al-Afghani,
Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, menjadi
pelopor mencairnya kebekuan pemikiran keislaman tersebut.
Gagasan pembaruan Muhammad
Abduh bertolak dari pandangannya tentang penyebab kemunduran umat Islam.
Menurutnya, kemunduran Islam disebabkan oleh adanya faham Jumud yang terdapat di kalangan umat Islam. Kata Jumud yang dimaksudkannya adalah suatu
situasi beku, statis, dan tidak menghendaki adanya perubahan serta hanya mau
berpegang teguh pada tradisi.
Ia belajar ilmu tasawuf pada Syekh
Darwisy Khadr, seorang pengikut Tarekat Syaziliah di desa Kanisah. Abduh masuk
al-Azhar pada tahun 1866, ketika menjadi mahasiswa di Al Azhar, pada tahun 1869
Abduh bertemu dengan seorang ulama' besar yang disebut-sebut sebagai pembaharu
dalam Islam, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, dirinya bertemu dengan Al-Afghani
dalam sebuah diskusi. Sejak itulah Abduh tertarik kepada Jamaluddin Al-Afghani
dan banyak belajar darinya. Al-Afghani adalah seorang pemikir modern yang
memiliki semangat tinggi untuk membuat paradigma baru yaitu memutuskan rantai
pemikiran umat islam yang ortodok dan cara berfikir yang fanatik. Nuansa baru
yang ditiupkan oleh Al-Afghani, berkembang pesat di Mesir terutama di kalangan
mahasiswa Al Azhar yang langsung dipelopori oleh Muhammad Abduh. Karena cara
berpikir Abduh yang lebih maju dan sering bersentuhan dengan jalan pikiran kaum
rasionalis Islam atau kaum Muktazilah (melalui buku Syarh at-Tafzani ‘Ala
al-Aqaid an-Nasafiyah / Penjelasan Taftazani tentang Kepercayaan Aliran
Nasafiyah ), menyebabkan ulama Al Azhar sempat menuduhnya telah meninggalkan
mahzab Asy’ariyah dan berpindah haluan menjadi penganut paham Mu’tazilah. Namun
Muhammad Abduh menampik tuduhan tersebut secara diplomatis dengan mengatakan :
“Yang terang saya telah meninggalkan taklid kepada Asy’ari, maka mengapa saya
harus bertaklid pula kepada Mu’tazilah ? Saya akan meninggalkan taklid kepada
siapa pun juga dan hanya berpegang kepada dalil yang dikemukakan.”
Setelah tamat dari al-Azhar pada tahun
1877, ia memulai karir sebagai pengajar di universitas tersebut sebagai
pengajar logika, teologi dan filsafat. Di samping itu ia juga mengajar di Dar
a-Ulm sebagai pengajar mata kuliah sejarah (buku yang dikajinya adalah
Mukaddimah Ibn Khaldun). Disamping profesinya sebagai guru, Abduh juga menekuni
bidang jurnalistik dengan menulis artikel – artikel untuk surat kabar, terutama
al-Ahram (Piramid) yang mulai terbit tahun 1876. Kariernya disini menanjak
menjadi pemimpin redaksi al-Waqa’I al-Misyriyah (Peristiwa – peristiwa Mesir).
Pada awal tahun 1884, Abduh pergi ke
Paris atas panggilan al Afghany yang saat itu telah berada disana. Bersama al
Afghany, disusunlah sebuah gerakan untuk memberikan kesadaran kepada seluruh
umat Islam yang bernama al-'Urwatul Wutsqa. Untuk mencapai cita-cita gerakan
tersebut, diterbitkanlah pula sebuah majalah yang juga diberi nama al-'Urwatul
Wutsqa. Suara kebebasan berpendapat yang digulirkan al Afghani dan Abduh
melalui majalah ini menyebar ke seluruh dunia dan memberikan ruh yang cukup
kuat terhadap kebangkitan umat Islam. Sehingga dalam waktu yang sangat singkat,
kaum imperialis merasa khawatir atas gerakan ini, akhirnya pemerintah Inggris
melarang majalah tersebut masuk ke wilayah Mesir dan India. Akhir tahun 1884,
setelah majalah tersebut terbit pada edisi ke-18, pemerintah Perancis melarang
diterbitkannya kembali majalah 'Urwatul Wutsqa. Kemudian Abduh diperbolehkan
kembali ke Mesir dan al Afghany melanjutkan pengembaraannya ke Eropa. Setelah
kembali ke Mesir, Abduh kembali diberi jabatan penting oleh pemerintah Mesir.
Ia juga membuat beberapa perbaikan di Universitas al Azhar. Puncaknya, pada
tanggal 3 Juni 1899, Abduh mendapatkan kepercayaan dari pemerintah Mesir untuk
menduduki jabatan sebagai Mufti Mesir. Kesempatan ini dimanfaatkan Abduh untuk
kembali berjuang meniupkan ruh perubahan dan kebangkitan kepada umat Islam.
Kontribusi
Pemikiran Muhammad
Abduh
Sebagai seorang teolog, corak pemikiran
Abduh sangat rasional, begitu besarnya peranan yang diberikan oleh akal
sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang
lebih tinggi kepada aqal daripada Mu’tazilah. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa pendapatnya, antara lain :
1. Konsep
Iman
Tentang iman, Abduh menjelaskan bahwa
iman adalah pengetahuan hakiki yang diperoleh akal melalui argument – argument
yang kuat dan membuat jiwa seseorang menjadi tunduk dan pasrah. Baginya, iman
bukan hanya sekedar tasdiq (pengakuan), melainkan juga makrifat dan perbuatan.
Iman meliputi tiga unsur : ilmu (pengetahuan), iktikad (kepercayaan), dan yakin
(keyakinan).
2. Sifat
– sifat Tuhan
Pandapatnya dijelaskan dalam buku
Hasyiyah ‘Ala Syarh ad-Dawani li al-Aqa’id al-‘Adudiyah (Komenter terhadap
Penjelasan ad-Dawani terhadap Akidah – akidah yang meleset), bahwa sifat Tuhan
adalah esensi Tuhan.
3. Perbuatan
Tuhan
Abduh mengakui adanya perbuatan –
perbuatan yang wajib bagi Tuhan dan yang mewajibkan perbuatan-Nya itu adalah
diri-Nya sendiri.
4. Keadilan
Tuhan
Mengenai soal keadilan Tuhan, Abduh
berpendapat bahwa Tuhan maha adil. Tuhan mustahil berbuat aniaya. Karena itu,
hukuman dan pahala yang diberikan kepada manusia sesuai dengan perbuatan jahat
dan baik yang telah dilakukannya.
5. Kekuasaan
dan kehendak Tuhan
Ia mengakui bahwa Tuhan itu maha kuasa
dan maha berkehendak. Meskipun demikian, Tuhan tidak bertindak sewenang –
wenang karena bertentangan dengan keadilan-Nya. Tuhan membatasi kekuasaan dan
kehendak mutlak-Nya dengan sunah-Nya yang tidak mengalami perubahan.
6. Perbuatan
manusia
Menurut Abduh, manusia diberi kebebasan
untuk berkehendak dan berbuat. Ia bebas memilih perbuatan mana yang hendak
dilakukannya. Umtuk itu manusia dibekali akal untuk berpikir dan dengan akalnya
ia mempertimbangkan akibat dari perbuatannya. Manusia tidaklah bebas secara
mutlak, kebebasannya dibatasi oleh hukum alam ciptaan Allah SWT.
7. Kekuatan
akal
Akal dalam system teologi Abduh
mempunyai kekuatan yang sangat tinggi. Baginya akal dapat mengetahui adanya
Tuhan dan sifat – sifat-Nya, mengetahui adanya hidup di akherat, mengetahui
kebaikan dan kejahatan, mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi
perbuatan jahat, serta membuat hukum – hukum. Abduh juga berpendapat bahwa
dengan akalnya manusia dapat memilih perbuatan mana yang akan ia lakukan,
dengan demikian Abduh menganut paham Qadariyah (free will), paham yang
menyatakan bahwa perbuatan manusia adalah perbuatannya sendiri dengan hakiki.
8. Fungsi
wahyu
Menurut Abduh, wahyu mempunyai dua
fungsi utama, yaitu menolong akal untuk mengetahui secara rinci mengenai
kahidupan akhirat dan menguatkan akal agar mampu mendidik untuk hidup secara
damai dalam lingkungan sosialnya.
Muhammad Abduh merupakan tokoh pembaharu
dalam Islam, ajaran – ajarannya hampir
bersesuaian, terutama dalam hal penolakan taqlid. Tak dapat disangkal bahwa
ajaran – ajaran Ibn Taimiyah sangat berpengaruh pada aliran Wahabi dan pemikiran
Muhammad abduh. Dalam kitab Majemu’ at-Tahid, salah satu kitab terpenting
mengenai keyakinan Wahabi termuat juga karangan Ibn Taimiyah, beberapa
diantaranya adalah Al-Qai’dah al-Wasitah dan Al-Furqan baina ‘auliya ir-Rahman
wa ‘auliya isyithan. Menurut Dr. W, Diffelen, paham yang sejalan ini mungkin
karena persamaan sumbernya. Baik Wahabi maupun Taimiyah sama – sama menamakan
dirinya pengikut Imam Ahmad bin Hanbal.
Perbedaan antara aliran paham Wahabi dan
Taimiyah, termasuk juga murid – murid dan pengikutnya terletak pada persoalan.
Bahwa Wahabi terutama menunjukan perjuangannya dalam usaha membersihkan Islam
dari dalam, karena mereka berpendapat bahwa keruntuhan Islam tidak tidak
disebabkan oleh factor yang datang dari luar, tetapi factor yang datang dari
Islam sendiri. Sedangkan Ibn Taimiyah berpendapat bahwa kerusakan Islam itu
disebabkan oleh orang Yahudi dan Kristen yang memasukannya ke dalam ajaran
Islam. Pernyataan Wahabi ini bersesuaian dengan pernyataan Muhammad Abduh yang
terkenal yaitu bahwa Islam tertutup dari Kaum Muslimin (al-Islam mahjub bi
al-muslimin).
Referensi :
Nasution, Harun. 1996. Pembaharuan dalam Islam : sejarah pemikiran dan gerakan. Jakarta :
Bulan Bintang
Razak, Yusron dkk. 2001. Pendidikan Agama. Jakarta : UHAMKA Press.